TKI: 'Kami manusia, hormatilah kami' - Perjuangan dan cita-cita para pekerja migran di Taiwan

TKI: 'Kami manusia, hormatilah kami' - Perjuangan dan cita-cita para pekerja migran di Taiwan
Taiwan, Di dalam sebuah apartemen kecil di Taipei, Muji (40 tahun), mengakhiri hari kerjanya sekitar pukul 20.00 malam dengan menuntun Ana, seorang perempuan tua pengidap demensia dan penyakit Parkinson ke tempat tidur. Ia harus melakukan segalanya untuk perempuan tua itu, termasuk menutup matanya.

Muji duduk di samping tempat tidur dan membelai rambut Ana sampai ia tertidur. Lalu dengan waktu luang yang pertama kalinya ia dapatkan sejak subuh, Muji menunaikan salat Isya.

Inilah salah satu adegan yang tak terlupakan dari film dokumenter baru buatan Indonesia Help is on the way yang menceritakan kisah pekerja domestik Indonesia seperti Muji di Taiwan.

Muji adalah seorang tenaga kerja Indonesia yang bekerja sebagai perawat penuh waktu untuk Ana. Ia dengan cermat menyiapkan makanan untuk perempuan tua itu dan menyuapinya. "Saya menganggap Ana seperti ibu saya sendiri, saya memperlakukannya dengan rasa hormat yang sama," katanya sebagaimana dilansir BBC.

Seperti banyak pekerja domestik lainnya di Taiwan, Muji meninggalkan kedua anaknya yang masih kecil di rumah demi mendapatkan gaji yang jauh lebih tinggi dari yang bisa ia dapatkan di kampung halamannya di Indonesia.

"Saya ambil pekerjaan itu setelah suami saya selingkuh dan saya harus mengurus anak-anak kami sendirian. Saya orang miskin — jika saya tidak mengambil pekerjaan di luar negeri, saya tidak akan bisa mengurus anak-anak saya. Orang tua saya petani. Saya tak punya pilihan selain meninggalkan anak-anak," tuturnya.

Film dokumenter ini menyentuh isu hak buruh, sistem perekrutan TKI yang suram, serta isu lainnya seputar migrasi, kelas, dan peran gender.
[post_ads]
"Kami ingin film ini menghidupkan percakapan tentang pekerja migran dan keluarga mereka. Supaya khalayak bisa memikirkan kondisi pekerjaan mereka, kemampuan untuk mengakses layanan yang berkualitas, dan bagi para pekerja migran sendiri, memahami praktik migrasi yang aman dengan lebih baik," produser Nick Calpakdjian, menjelaskan.

Film ini bercerita dari sudut pandang Indonesia dan Taiwan.

"Saya harap ini bisa menjadi jembatan antara sudut pandang kedua negara, Indonesia dan Taiwan, serta pemberi kerja dan pekerja. Karena kalau ini tidak ada, seperti kita tidak kenal satu sama lain," kata sutradara Ismail Fahmi Lubis.

Keluarga Sukma, 26 tahun dan Meri, 21 tahun, berharap mereka bisa mencari uang di luar negeri.

Mereka menghabiskan lebih dari Rp20 juta untuk membayar agen perekrutan di Indramayu, Jawa Barat, yang memberi mereka pelatihan bersih-bersih dan mengasuh selama tiga bulan serta bahasa Mandarin untuk pemula, dan kemudian membantu mereka mendapatkan pekerjaan di luar negeri.

Mereka dilatih dan disiapkan. Berat badan mereka dicek untuk mematuhi peraturan Taiwan — pengasuh hanya boleh mengangkat orang yang bobot tubuhnya lima kilogram lebih berat dari diri mereka sendiri. Mereka juga berulang kali diperingatkan agar tidak kabur atau hamil.

Para perempuan itu jelas menanggung beban karena menyadari bahwa penghasilan mereka dapat mengurangi kemiskinan keluarga mereka, sekaligus menyadari bahwa itu membutuhkan pengorbanan besar dari diri mereka sendiri.

Sukma sempat menangis di depan kamera ketika mengingat pengalamannya di Malaysia waktu ia diberitahu bahwa ia tidak boleh salat di dalam rumah. Dia ingin pergi tetapi tidak bisa. Namun demikian, dia bersikeras untuk berangkat ke Taiwan demi menghasilkan cukup uang agar orang tuanya bisa pergi ke Mekah.

Agen-agen tersebut tidak mengungkap dengan jelas operasi mereka, dan diisyaratkan dalam dokumenter ini bahwa baik pihak di Indonesia maupun Taiwan memanfaatkan para pekerja migran untuk mendapatkan keuntungan finansial.

Pada satu adegan agen Muji secara terbuka berbicara dengan bosnya Catherine, anak perempuan Ana, tentang betapa mudahnya menggantikan Muji.

"Orang Indonesia lebih penurut," kata si agen sambil tertawa. Seolah-olah mereka tidak bisa melihat Muji.

Muji mengatakan ia telah menjalin hubungan yang baik dengan Catherine sekarang, tetapi pada awalnya itu adalah tantangan dan Muji sempat berpikir untuk pergi.

Rutinitas Muji sangat melelahkan, ia bekerja dari subuh sampai larut malam; dan pekerja rumah tangga tidak berhak mengklaim upah lembur berdasarkan hukum Taiwan.

Meski begitu, kita bisa melihatnya mengisi waktu luangnya yang berharga untuk bersosialisasi dengan para pengasuh Indonesia lainnya di satu pusat perbelanjaan bawah tanah sambil berbagi camilan khas Indonesia.

Film ini juga membahas tentang bagaimana Taiwan bisa menjadi tempat pemberdayaan bagi beberapa perempuan.

Tari, 35 tahun, bekerja sebagai perawat di sebuah panti jompo di barat daya Taiwan tempat ia mendapat gaji pokok sebesar Rp10 juta setiap bulan, lebih besar dari pekerja rumah tangga.
[post_ads_2]
"Tujuan utama kami adalah untuk bekerja ... tetapi ada banyak hal yang bisa kami capai di Taiwan tergantung pada bagaimana kami menangani diri sendiri," katanya dalam film tersebut.

Ia telah hamil dan harus menikah di usia muda, sesuatu yang ia katakan sangat mengecewakan keluarganya. Tapi di Taiwan, ia bisa belajar komunikasi di kampus komunitas dan berharap bisa membuat keluarganya bangga.

"Saya ingat ayah saya pernah berkata, kamu akan lebih dihormati karena pengetahuanmu, bukan karena kekayaanmu," tuturnya.

Hingga tengah malam, ia menulis cerita pendek saat teman-teman sekamarnya tidur dan menerbitkannya di media berbahasa Indonesia di Taiwan.

Tari mengatakan ia berharap film ini "bisa menginspirasi banyak orang karena ada banyak pekerja migran di luar negeri yang berprestasi dan bisa mengangkat nama bangsa dan negara."

Muji tertawa gugup ketika berbicara tentang menonton film dengan majikannya Catherine.

"Saya merasa sedih campur bahagia menontonnya. Saya merasa bangga. Saya merasa sedih memikirkan betapa saya merindukan anak-anak saya dan perihnya meninggalkan mereka," ujarnya. Ia belum pulang selama tiga tahun sekarang.

Tetapi pada tingkat yang lebih luas ia berharap film ini akan membantu mengurangi stigma tentang pekerja migran.

"Beberapa orang Indonesia merendahkan kita, [mengatakan] bahwa kita ingin menemukan lelaki asing atau melarikan diri dari tanggung jawab keluarga. Tapi Anda bisa melihat dalam film ini bahwa kita benar-benar bekerja keras di luar negeri. Bukan seperti apa yang mereka pikirkan."

"Saya ingin majikan menghormati kami sejak awal, jika kami tidak tahu sesuatu — bersabarlah dengan kami. Ada majikan yang mencoba melecehkan kami secara seksual. Kami adalah manusia — hormatilah kami," katanya.

Catherine menangis dan memeluk Muji setelah menonton film ini bersama.

Untuk memfasilitasi interaksi semacam itu dan memantik percakapan, tim di balik film dokumenter membuat kampanye yang meminta orang-orang untuk berbagi pengalaman mereka tentang pekerja rumah tangga di media sosial.

Produser Nick Calpakdjian sudah mulai melakukan refleksinya sendiri.

"Saya belajar bahwa jika saya ingin merasa nyaman tentang orang yang merawat anak-anak kita, maka saya perlu melihat mereka lebih dari sekadar 'bantuan'," ujarnya.

"Akan selalu ada hubungan majikan-karyawan. Tetapi itu tidak perlu mengatur hubungan manusia yang telah kita ciptakan."

Muji memperpanjang kontraknya untuk tiga tahun. Setelah itu ia mengatakan bahwa ia ingin rehat sebentar untuk menghabiskan waktu bersama anak-anaknya, sebelum pergi ke luar negeri lagi.

"Anak-anak masih membutuhkan saya bekerja," ujarnya, terang-terangan.

Ia ingin mereka punya lebih banyak pilihan.

"Saya tak mau mereka jadi seperti saya. Saya ingin mereka dapat pekerjaan bagus di Indonesia sehingga tidak perlu keluar negeri dan jauh dari keluarga seperti saya. Tidak sama ketika hanya mengobrol lewat telepon. Saya sangat kangen pada mereka," ujarnya.

'Help is on the way' tersedia di Indonesia di Go Play, layanan streaming GoJek, dan di Taiwan disiarkan melalui televisi publik PTS.
Nama

BMI Peduli,38,Cinta,36,Cuaca,20,Heboh,13,Hongkong,76,IndoNews,129,Inspirasi Usaha,5,Jepang,1,KabarBMI,336,Korea,11,Malaysia,13,Panduan,16,Saudi,10,Singapura,17,Taiwan,213,Waspada,25,
ltr
item
Berita TKI Diluar Negeri: TKI: 'Kami manusia, hormatilah kami' - Perjuangan dan cita-cita para pekerja migran di Taiwan
TKI: 'Kami manusia, hormatilah kami' - Perjuangan dan cita-cita para pekerja migran di Taiwan
TKI: 'Kami manusia, hormatilah kami' - Perjuangan dan cita-cita para pekerja migran di Taiwan
https://1.bp.blogspot.com/-7G9L1IMPMvg/XubGharr8yI/AAAAAAAABVo/DH-PT1tKfGsv-swRWUB42wPsHYiIUYIZACLcBGAsYHQ/s640/kami%2Bmanusia%2Bhormatilah.jpg
https://1.bp.blogspot.com/-7G9L1IMPMvg/XubGharr8yI/AAAAAAAABVo/DH-PT1tKfGsv-swRWUB42wPsHYiIUYIZACLcBGAsYHQ/s72-c/kami%2Bmanusia%2Bhormatilah.jpg
Berita TKI Diluar Negeri
https://www.suarabmi.com/2020/06/tki-kami-manusia-hormatilah-kami.html
https://www.suarabmi.com/
https://www.suarabmi.com/
https://www.suarabmi.com/2020/06/tki-kami-manusia-hormatilah-kami.html
true
3441396040912036331
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS PREMIUM CONTENT IS LOCKED STEP 1: Share to a social network STEP 2: Click the link on your social network Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy Table of Content