Kesehatan Mental Pekerja Migran di Singapura Terganggu
SUARABMI - Keadaan kesehatan mental para pekerja migran di Singapura dicemaskan memburuk akibat terkurung selama berbulan-bulan di mes yang tidak luas. Hal ini terjadi karena pemerintah Singapura memberlakukan karantina ketat setelah mes pekerja migran menjadi kluster utama penyebaran Covid-19.
Ribuan pekerja migran bergaji rendah di Singapura terpaksa tinggal di dalam mes saja karena kebijakan karantina wajib ini demi mencegah penularan Covid-19. Kondisi kesehatan mental mereka dicemaskan mulai terganggu, sebagaimana dilaporkan Reuters, Rabu (5/8/2020).
Kekuatiran itu muncul terutama setelah ada peristiwa laki-laki pekerja migran berusia 36 tahun di Singapura yang melukai diri sendiri. Ia saat itu dalam kondisi terkulai di anak tangga dengan baju berd-rah.
[post_ads]
Sejak April lalu, Pemerintah Singapura mengisolasi kompleks perumahan atau apartemen yang sebagian besar dihuni oleh para pekerja migran dari wilayah Asia Selatan. Mereka terpaksa tinggal di dalam kamar tidur yang sempit dan diisi oleh banyak orang. Singapura berargumen cara ini untuk mencegah lonjakan kasus penularan di kalangan pekerja.
Hingga saat ini saja masih ada beberapa asrama yang tetap dikarantina. Bahkan, para pekerja migran yang sudah dinyatakan negatif virus pun belum diperbolehkan bebas keluar ke mana saja.
Aktifitas mereka tetap dibatasi hingga mereka kesusahan untuk bekerja. Padahal, keluarga mereka di negara asal menunggu kiriman uang dari mereka untuk hidup sehari-hari.
Kondisi yang tidak pasti seperti ini, kata kelompok-kelompok pejuang HAM, mengganggu mental para pekerja. Apalagi dengan adanya laporan terkini yang menyebutkan para pekerja migran ditahan dengan landasan hukum undang-undang kesehatan mental. Ini karena sebelumnya beredar video yang menunjukkan mereka duduk-duduk di atap rumah dan jendela yang tinggi.
”Kami memperoleh laporan kondisi stres ekstrem yang muncul karena tidak bisa mengirim uang ke keluarga, tidak bisa bayar hutang ke bank dan pihak lain, serta tidak bisa membiayai pengobatan untuk anak dan orangtua,” kata Presiden Kelompok HAM, Transient Workers Count Too (TWC2) Deborah Fordyce.
Fordyce menambahkan, saat ini pekerja migran banyak yang merasa penderitaan mental mereka menjadi masalah yang lebih serius ketimbang Covid-19.
Pusat penularan
Alasan Pemerintah Singapura tetap karantina para pekerja migran itu karena dari total sekitar 53.000 kasus positif Covid-19 di Singapura, paling banyak muncul di asrama-asrama sekitar 300.000 pekerja migran dari Bangladesh, India, dan China. Jumlah kematian di Singapura akibat Covid-19 tercatat 27 orang.
[post_ads_2]
Pemerintah pernah berjanji akan menarik aturan karantina di semua asrama pada bulan ini. Namun, ada beberapa asrama yang masih harus dikarantina karena dijadikan sebagai zona khusus karantina.
Pencabutan karantina ini juga dilakukan atas dasar 89 persen pekerja migran sudah negatif dari virus atau sembuh dari Covid-19.
Kementerian Tenaga Kerja Singapura yang mengawasi kebijakan karantina itu mengakui tahu ada kasus pekerja migran yang melukai diri sendiri itu. Kini, pekerja migran itu dalam kondisi aman dan stabil.
Dari hasil pemeriksaan, tidak ditemukan ada indikasi pekerja migran itu sedang kesusahan atau tidak digaji. Para pekerja migran diminta untuk tidak ceroboh dan terburu-buru meminta bantuan organisasi-organisasi non-pemerintah.
”Kementerian Tenaga Kerja bekerja sama dengan sejumlah LSM untuk menangani kesehatan mental para pekerja migran dengan menyediakan layanan konseling,” sebut pernyataan tertulis dari kementerian itu.
sumber: kompasid
COMMENTS